WELCOME
.
Stockpile of Beautiful moments
.
There are times when
we need to shut ourselves
off from the interruption...
.
Relax on the
other side of our goals
____________
to navigate, just click on the boxes above
Rio liebt Lia
Karlsruhe liebt Zhong Li
Surabaya liebt Palembang
Aries liebt VirGo
Knight liebt Princess
...
Lurve
FreNch Kissin`
buBbLe baThin`
cUddLin` on da couCh
DatIn`
hUggiN`
cOoKin`
SHOPPING
hOnEymOon
...
Hates
AnNoyiNG tHings!
buGGing Things!
...
Monday, April 10, 2006
Saat itu teman-teman baik Nania sedang duduk di
kantin menikmati hari-hari sidang yang baru saja
berlalu. Suasana sore di kampus sepi. Berpasang-
pasang mata tertuju pada gadis itu. Tiba-tiba saja
pipi Nania bersemu merah, lalu matanya berpijar
bagaikan lampu neon limabelas watt. Hatinya
sibuk merangkai kata-kata yang barangkali
beterbangan di otak melebihi kapasitas. Mulut
Nania
terbuka. Semua menunggu. Tapi tak ada apapun
yang
keluar dari sana. Ia hanya menarik nafas,
mencoba bicara dan?
menyadari, dia tak punya kata-kata!
Dulu gadis berwajah indo itu mengira punya
banyak jawaban, alasan detil dan spesifik, kenapa
bersedia menikah dengan laki-laki itu.
Tapi kejadian dikampus adalah kali kedua Nania
yang pintar berbicara mendadak gagap.
Yang pertama terjadi tiga bulan lalu saat Nania
menyampaikan keinginan Rafli untuk melamarnya.
Arisan keluarga Nania dianggap momen yang
tepat karena semua berkumpul, bahkan hingga
generasi ketiga, sebab kakak-kakaknya yang
sudah berkeluarga membawa serta buntut mereka.
"Kamu pasti bercanda!" Nania kaget.
Tapi melihat senyum yang tersungging di wajah
kakak tertua, disusul senyum serupa dari kakak
nomor dua, tiga, dan terakhir dari Papa dan Mama
membuat Nania menyimpulkan: mereka serius
ketika mengira Nania bercanda.
Suasana sekonyong-konyong hening. Bahkan
keponakan-keponakan Nania yang balita melongo
dengan gigi-gigi mereka yang ompong. Semua
menatap Nania!
"Nania serius!" tegasnya sambil menebak-nebak,
apa lucunya jika Rafli memang melamarnya.
"Tidak ada yang lucu," suara Papa tegas, "Papa
hanya tidak mengira Rafli berani melamar anak
Papa yang paling cantik!"
Nania tersenyum. Sedikit lega karena kalimat
Papa barusan adalah pertanda baik. Perkiraan
Nania tidak sepenuhnya benar sebab setelah itu
berpasang-pasang mata kembali menghujaninya,
seperti tatapan mata penuh selidik seisi ruang
pengadilan pada tertuduh yang duduk layaknya
pesakitan.
"Tapi Nania tidak serius dengan Rafli, kan?" Mama
mengambil inisiatif bicara, masih seperti biasa
dengan nada penuh wibawa, "maksud Mama siapa
saja boleh datang melamar siapapun, tapi
jawabannya tidak harus iya, toh?"
Nania terkesima.
"Kenapa?" Sebab kamu gadis Papa yang paling
cantik.
Sebab kamu paling berprestasi dibandingkan
kami. Mulai dari ajang busana, sampai lomba
beladiri. Kamu juga juara debat
bahasa Inggris, juara baca puisi seprovinsi.
Suaramu bagus! Sebab masa depanmu cerah.
Sebentar lagi kamu meraih
gelar insinyur. Bakatmu yang lain pun luar biasa.
Nania sayang, kamu bisa mendapatkan laki-laki
manapun yang kamu mau!
Nania memandangi mereka, orang-orang yang
amat dia kasihi, Papa, kakak-kakak, dan terakhir
Mama. Takjub dengan rentetan panjang uraian
mereka atau satu kata 'kenapa'
yang barusan Nania lontarkan.
"Nania Cuma mau Rafli," sahutnya pendek dengan
airmata mengambang di kelopak. Hari itu dia tahu,
keluarganya bukan sekadar tidak suka, melainkan
sangat tidak menyukai Rafli. Ketidaksukaan yang
mencapai stadium empat.
Parah.
"Tapi kenapa?" Sebab Rafli cuma laki-laki biasa,
dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa,
berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji
yang amat sangat biasa.
Bergantian tiga saudara tua Nania mencoba
membuka
matanya. "Tak ada yang bisa dilihat pada dia,
Nania!"
Cukup! Nania menjadi marah. Tidak pada
tempatnya ukuran-ukuran duniawi menjadi
parameter kebaikan seseorang
menjadi manusia. Di mana iman, di mana
tawakkal hingga begitu mudah menentukan masa
depan seseorang dengan melihat pencapaiannya
hari ini? Sayangnya Nania lagi-lagi gagal
membuka mulut dan membela Rafli. Barangkali
karena
Nania memang tidak tahu bagaimana harus
membelanya.
Gadis itu tak punya fakta dan data konkret yang
bisa membuat
Rafli tampak 'luar biasa'. Nania Cuma punya
idealisme berdasarkan perasaan yang telah
menuntun Nania menapaki hidup hingga umur
duapuluh tiga. Dan nalurinya menerima Rafli. Di
sampingnya Nania bahagia. Mereka akhirnya
menikah.
*** Setahun pernikahan.
Orang-orang masih sering menanyakan hal itu,
masih
sering
berbisik-bisik di belakang Nania, apa sebenarnya
yang dia
lihat dari Rafli. Jeleknya, Nania masih belum
mampu juga
menjelaskan kelebihan-kelebihan Rafli agar
tampak di mata
mereka. Nania hanya merasakan cinta begitu
besar dari Rafli, begitu besar hingga Nania bisa
merasakannya hanya dari sentuhan tangan,
tatapan mata, atau cara dia meladeni
Nania. Hal-hal sederhana yang membuat
perempuan itu sangat bahagia.
"Tidak ada lelaki yang bisa mencintai sebesar
cinta Rafli pada Nania." Nada suara Nania tegas,
mantap, tanpa keraguan.
Ketiga saudara Nania hanya memandang lekat,
mata mereka terlihat tak percaya.
"Nia, siapapun akan mudah mencintai gadis
secantikmu!"
"Kamu adik kami yang tak hanya cantik, tapi juga
pintar!"
"Betul. Kamu adik kami yang cantik, pintar, dan
punya kehidupan sukses!"
Nania merasa lidahnya kelu. Hatinya siap
memprotes.
Dan kali ini dilakukannya sungguh-sungguh.
Mereka tak boleh meremehkan Rafli. Beberapa
ama keempat adik dan kakak itu beradu argumen.
Tapi Rafli juga tidak jelek, Kak! Betul. Tapi dia juga
tidak ganteng kan? Rafli juga pintar! Tidak
sepintarmu, Nania. Rafli juga sukses,
pekerjaannya lumayan. Hanya lumayan, Nania.
Bukan sukses. Tidak sepertimu.
Seolah tak ada apapun yang bisa meyakinkan
kakak-kakaknya, bahwa adik mereka beruntung
mendapatkan suami seperti Rafli. Lagi-lagi
percuma.
"Lihat hidupmu, Nania. Lalu lihat Rafli! Kamu
sukses, mapan, kamu bahkan tidak perlu lelaki
untuk menghidupimu."
Teganya kakak-kakak Nania mengatakan itu
semua. Padahal adik mereka sudah menikah dan
sebentar lagi punya anak.
Ketika lima tahun pernikahan berlalu, ocehan itu
tak juga
berhenti. Padahal Nania dan Rafli sudah memiliki
dua orang
anak, satu lelaki dan satu perempuan. Keduanya
menggemaskan. Rafli bekerja lebih rajin setelah
mereka
memiliki anak-anak. Padahal itu tidak perlu sebab
gaji Nania lebih dari cukup untuk hidup senang.
"Tak apa," kata lelaki itu, ketika Nania memintanya
untuk tidak terlalu memforsir diri.
"Gaji Nania cukup, maksud Nania jika digabungkan
dengan gaji Abang."
Nania tak bermaksud menyinggung hati lelaki itu.
Tapi dia tak perlu khawatir sebab suaminya yang
berjiwa besar selalu bisa menangkap hanya
maksud baik.
"Sebaiknya Nania tabungkan saja, untuk jaga-
jaga. Ya?"
Lalu dia mengelus pipi Nania dan mendaratkan
kecupan lembut. Saat itu sesuatu seperti kejutan
listrik menyentakkan otak dan membuat pikiran
Nania cerah.
Inilah hidup yang diimpikan banyak orang. Bahagia!
Pertanyaan kenapa dia menikahi laki-laki biasa,
dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa,
berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji
yang amat sangat biasa, tak lagi mengusik
perasaan Nania. Sebab ketika bahagia, alasan-
alasan menjadi tidak penting.
Menginjak tahun ketujuh pernikahan, posisi Nania
di kantor semakin gemilang, uang mengalir begitu
mudah, rumah Nania besar,
anak-anak pintar dan lucu, dan Nania memiliki
suami terbaik di dunia. Hidup perempuan itu
berada di puncak!
Bisik-bisik masih terdengar, setiap Nania dan Rafli
melintas dan bergandengan mesra. Bisik orang-
orang di kantor, bisik tetangga kanan dan kiri,
bisik saudara-saudara Nania, bisik Papa dan
Mama. Sungguh beruntung suaminya. Istrinya
cantik. Cantik ya? dan
kaya!
Tak imbang!
Dulu bisik-bisik itu membuatnya frustrasi.
Sekarang pun masih, tapi Nania belajar untuk
bersikap cuek tidak peduli. Toh dia hidup dengan
perasaan bahagia yang kian membukit dari hari ke
hari. Tahun kesepuluh pernikahan, hidup Nania
masih belum bergeser dari puncak.
Anak-anak semakin besar. Nania mengandung
yang ketiga. Selama kurun waktu itu, tak
sekalipun Rafli melukai hati Nania, atau membuat
Nania menangis.
*** Bayi yang dikandung Nania tidak juga mau
keluar.
Sudah lewat dua minggu dari waktunya.
"Plasenta kamu sudah berbintik-bintik. Sudah tua,
Nania. Harus segera dikeluarkan!"
Mula-mula dokter kandungan langganan Nania
memasukkan sejenis obat ke dalam rahim Nania.
Obat itu akan menimbulkan kontraksi hebat hingga
perempuan itu merasakan sakit yang teramat
sangat. Jika semuanya normal, hanya dalam
hitungan jam, mereka akan segera melihat si
kecil.
Rafli tidak beranjak dari sisi tempat tidur Nania di
rumah sakit. Hanya waktu-waktu ke kamar mandi,
lelaki itu
meninggalkannya. Sementara kakak-kakak serta
orangtua
Nania belum satu pun yang datang.
Anehnya, meski obat kedua sudah dimasukkan,
delapan
jam setelah obat pertama, Nania tak menunjukkan
tanda-tanda akan melahirkan. Rasa sakit dan
melilit sudah dirasakan
Nania per lima menit, lalu tiga menit. Tapi
pembukaan berjalan lambat sekali.
"Baru pembukaan satu." "Belum ada perubahan,
Bu."
"Sudah bertambah sedikit," kata seorang suster
empat jam
kemudian menyemaikan harapan.
"Sekarang pembukaan satu lebih sedikit."
Nania dan Rafli berpandangan. Mereka sepakat
suster
terakhir yang memeriksa memiliki sense of humor
yang
tinggi. Tigapuluh jam berlalu. Nania baru
pembukaan dua.
Ketika pembukaan pecah, didahului keluarnya
darah, mereka
terlonjak bahagia sebab dulu-dulu kelahiran akan
mengikuti
setelah ketuban pecah. Perkiraan mereka meleset.
"Masih pembukaan dua, Pak!"
Rafli tercengang. Cemas. Nania tak bisa
menghibur karena rasa sakit yang sudah tak
sanggup lagi ditanggungnya. Kondisi perempuan
itu makin payah. Sejak pagi tak sesuap nasi pun
bisa ditelannya.
"Bang?"
Rafli termangu. Iba hatinya melihat sang istri
memperjuangkan dua kehidupan.
"Dokter?"
"Kita operasi, Nia. Bayinya mungkin terlilit tali
pusar."
Mungkin?
Rafli dan Nania berpandangan. Kenapa tidak dari
tadi kalau begitu? Bagaimana jika terlambat?
Mereka berpandangan, Nania berusaha mengusir
kekhawatiran. Ia senang karena Rafli tidak
melepaskan genggaman tangannya hingga ke
pintu kamar operasi. Ia tak suka merasa sendiri
lebih awal. Pembiusan dilakukan, Nania digiring ke
ruangan serba putih. Sebuah sekat ditaruh di
perutnya hingga dia
tidak bisa menyaksikan ketrampilan dokter-dokter
itu.
Sebuah lagu dimainkan. Nania merasa berada
dalam perahu yang
diguncang ombak. Berayun-ayun. Kesadarannya
naik-turun.
Terakhir, telinga perempuan itu sempat
menangkap
teriakan-teriakan di sekitarnya, dan langkah-
langkah cepat yang bergerak, sebelum kemudian
dia tak sadarkan diri.
Kepanikan ada di udara. Bahkan dari luar Rafli
bisa menciumnya. Bibir lelaki itu tak berhenti
melafalkan doa – doa untuk Nania.
Seorang dokter keluar, Rafli dan keluarga Nania
mendekat.
"Pendarahan hebat."
Rafli membayangkan sebuah sumber air yang
meluap, berwarna
merah. Ada varises di mulut rahim yang tidak
terdeteksi dan entah bagaimana pecah! Bayi
mereka selamat, tapi Nania
dalam kondisi kritis. Mama Nania yang baru tiba,
menangis.
Papa termangu lama sekali. Saudara-saudara
Nania menyimpan isak, sambil menenangkan
orangtua mereka.
Rafli seperti berada dalam atmosfer yang berbeda.
Lelaki
itu tercenung beberapa saat, ada rasa cemas yang
mengalir di pembuluh-pembuluh darahnya dan tak
bisa dihentikan,
menyebar dan meluas cepat seperti kanker.
Setelah itu adalah hari-hari penuh doa bagi Nania.
***Sudah seminggu lebih Nania koma. Selama itu
Rafli
bolak-balik dari kediamannya ke rumah sakit. Ia
harus
membagi perhatian bagi Nania dan juga anak-
anak. Terutama anggota keluarganya yang baru, si
kecil. Bayi itu sungguh menakjubkan, fisiknya
sangat kuat, juga daya hisapnya.
Tidak sampai empat hari, mereka sudah boleh
membawanya pulang. Mama, Papa, dan ketiga
saudara Nania terkadang ikut menunggui Nania di
rumah sakit, sesekali mereka ke rumah dan
melihat perkembangan si kecil.
Walau tak banyak, mulai terjadi percakapan antara
pihak keluarga Nania dengan Rafli. Lelaki itu
sungguh luar biasa.
Ia nyaris tak pernah meninggalkan rumah sakit,
kecuali untuk melihat
anak-anak di rumah. Syukurnya pihak perusahaan
tempat
Rafli bekerja mengerti dan memberikan izin penuh.
Toh, dedikasi Rafli terhadap kantor tidak perlu
diragukan.
Begitulah Rafli menjaga Nania siang dan malam.
Dibawanya sebuah Alkitab kecil, dibacakannya
dekat telinga Nania
yang terbaring di ruang ICU. Kadang perawat dan
pengunjung lain yang kebetulan menjenguk sanak
famili mereka,
melihat lelaki dengan penampilan sederhana itu
bercakap-cakap dan
bercanda mesra.
Rafli percaya meskipun tidak mendengar, Nania
bisa merasakan kehadirannya.
"Nania, bangun, Cinta?"
Kata-kata itu dibisikkannya berulang-ulang sambil
mencium tangan, pipi dan kening istrinya yang
cantik.
Ketika sepuluh hari berlalu, dan pihak keluarga
mulai pesimis dan berfikir untuk pasrah, Rafli
masih berjuang.
Datang setiap hari ke rumah sakit, berdoa dekat
Nania
sambil menggenggam tangan istrinya mesra.
Kadang
lelaki itu membawakan buku-buku kesukaan Nania
ke rumah sakit dan membacanya dengan suara
pelan. Memberikan tambahan di bagian ini dan itu.
Sambil tak bosan-bosannya berbisik, "Nania,
bangun, Cinta?"
Malam-malam penantian dilewatkan Rafli dalam
sujud dan permohonan. Asalkan Nania sadar,
yang lain tak jadi soal. Asalkan dia bisa melihat
lagi cahaya di mata kekasihnya,
senyum di bibir Nania, semua yang menjadi
sumber semangat
bagi orang-orang di sekitarnya, bagi Rafli. Rumah
mereka
tak sama tanpa kehadiran Nania. Anak-anak
merindukan
ibunya. Di luar itu Rafli tak memedulikan yang lain,
tidak wajahnya yang lama tak bercukur, atau
badannya yang
semakin kurus akibat sering lupa makan. Ia ingin
melihat
Nania lagi dan semua antusias perempuan itu di
mata,
gerak bibir, kernyitan kening, serta gerakan-
gerakan kecil lain di wajahnya yang cantik. Nania
sudah tidur terlalu lama.
Pada hari ketigapuluh tujuh doa Rafli terjawab.
Nania sadar dan wajah penat Rafli adalah yang
pertama
ditangkap matanya. Seakan telah begitu lama.
Rafli menangis,
menggenggam tangan Nania dan
mendekapkannya ke
dadanya, mengucapkan syukur berulang-ulang
dengan air mata yang
meleleh. Asalkan Nania sadar, semua tak penting
lagi.
Rafli membuktikan kata-kata yang diucapkannya
beratus
kali dalam doa.
Lelaki biasa itu tak pernah lelah merawat Nania
selama sebelas tahun terakhir. Memandikan dan
menyuapi Nania,
lalu mengantar anak-anak ke sekolah satu per
satu.
Setiap sore setelah pulang kantor, lelaki itu cepat-
cepat
menuju rumah dan menggendong Nania ke teras,
melihat senja datang sambil memangku Nania
seperti remaja belasan tahun yang sedang jatuh
cinta. Ketika malam Rafli mendandani Nania
agar cantik sebelum tidur. Membersihkan wajah
pucat perempuan cantik itu, memakaikannya gaun
tidur. Ia ingin Nania selalu merasa cantik. Meski
seringkali Nania mengatakan itu tak perlu.
Bagaimana bisa merasa cantik dalam keadaan
lumpuh? Tapi Rafli dengan upayanya yang terus-
menerus dan tak kenal lelah selalu meyakinkan
Nania, membuatnya pelan-pelan percaya bahwa
dialah perempuan paling cantik dan sempurna di
dunia. Setidaknya di mata Rafli.
Setiap hari Minggu Rafli mengajak mereka
sekeluarga
jalan-jalan keluar. Selama itu pula dia selalu
menyertakan
Nania. Belanja, makan di restoran, nonton
bioskop,
rekreasi ke manapun Nania harus ikut. Anak-anak,
seperti juga Rafli, melakukan hal yang sama,
selalu melibatkan Nania. Begitu bertahun-tahun.
Awalnya tentu Nania
sempat merasa risih dengan pandangan orang-
orang di
sekitarnya.
Mereka semua yang menatapnya iba, lebih-lebih
pada Rafli
yang berkeringat mendorong kursi roda Nania ke
sana kemari. Masih dengan senyum hangat di
antara wajahnya yang bermanik keringat. Lalu
berangsur Nania menyadari, mereka, orang-orang
yang ditemuinya di jalan, juga tetangga-tetangga,
sahabat, dan teman-teman Nania tak puas hanya
memberi pandangan iba, namun juga
mengomentari, mengoceh, semua berbisik-bisik.
"Baik banget suaminya!" "Lelaki lain mungkin
sudah cari perempuan kedua!"
"Nania beruntung!" "Ya, memiliki seseorang yang
menerima dia apa adanya."
"Tidak, tidak cuma menerima apa adanya, kalian
lihat bagaimana suaminya memandang penuh
cinta. Sedikit pun tak pernah bermuka masam!"
Bisik-bisik serupa juga lahir dari kakaknya yang
tiga orang, Papa dan Mama. Bisik-bisik yang
serupa dengungan dan sempat membuat Nania
makin frustrasi, merasa tak berani, merasa? Tapi
dia salah. Sangat salah. Nania menyadari itu
kemudian. Orang-orang diluar mereka memang
tetap berbisik-bisik, barangkali selamanya akan
selalu begitu. Hanya saja, bukankah bisik-bisik itu
kini
berbeda bunyi? Dari teras Nania menyaksikan
anak-anaknya bermain
basket dengan ayah mereka.
Sesekali perempuan itu ikut tergelak melihat
kocak permainan. Ya.
Duapuluh dua tahun pernikahan. Nania menghitung-
hitung semua, anak-anak yang beranjak dewasa,
rumah besar yang mereka tempati, kehidupan
yang lebih dari yang bisa dia syukuri. Meski
tubuhnya tak berfungsi sempurna. Meski
kecantikannya tak lagi sama karena usia, meski
karir telah direbut takdir
dari tangannya. Waktu telah membuktikan
segalanya.
Cinta luar biasa dari laki-laki biasa yang tak
pernah berubah, untuk Nania
NB: isnt tat sweet?
so touching ...
between Germany & Taiwan : 10:39 PM
brushes by Miss M
blog layout by eihctik
downloaded from BlogSkins.com